Setiap
orde mempunyai karakteristik serta bahasa politik tertentu. Apa yang terjadi
di Eropa pasca Renaisans adalah sebuah perubahan-perubahan yang radikal
yang terjadi dari apa-apa yang berasal dari masa-masa sebelumnya. Bahasa-bahasa
politis yang sebelumnya mengandung makna risih untuk didengar selanjutnya
menjadi sebuah hal yang lumrah bahkan telah menjadi sebuah lingua franca.
Demikian
pula dengan dunia perpolitikan yang terjadi di indonesia. Kalau semasa
orde lama berbagai percobaan sistem kenegaraan pernah dilakukan oleh Presiden
Soekarno, mulai dari percobaan adopsi demokrasi ala barat yang puritan
hingga demokrasi terpimpin.
Ketika
orde lama yang dimotori Soekarno tumbang, naiklah sebuah orde yang dimotori
oleh pihak militer ke jenjang kekuasaan pemerintahan. Sesuai dengan jiwa
orang-orang yang berada di balik layar, maka pemerintahan yang bergaya
militer dan berciri-khaskan kebapakan (komandan) serta terkurungnya berbagai
kebebasan madani mulai berkembang.
Dengan
alasan stabilitas nasional maka dibuatlah berbagai perundang-undangan yang
pada hakekatnya merupakan sebuah pengebirian aspirasi rakyat yang berkembang
sebagai akibat ketakutan rezim yang berkuasa. Di antara berbagai pengebirian
aspirasi rakyat yang ada adalah penyederhanaan partai-partai politik yang
ada. Dari beberapa partai politik yang ada hingga akhir orde lama maka
pemerintah orde baru mengadakan berbagai penyederhanaan pada pemilu tahun
1971 yang selanjutnya dilakukan penyederhanaan lagi berdasarkan aliran
politik yang diperjuangkan hingga tinggallah dua partai politik serta satu
golongan karya.
Dari
kebijakan terakhir pemerintah orde baru tersebut dilanjutkan dengan keluarnya
undang-undang keormasan no. 5 tahun 1985 yang menjadikan Pancasila sebagai
satu-satunya asas tunggal bagi semua organisasi massa yang melakukan kegiatannya
di negara indonesia. Namun hal tersebut tidaklah berhenti sampai disini
saja pengebirian aspirasi rakyat. Pemerintah orde baru mulai mengadakan
penafsiran-penafsiran baru atas landasan negara yang ada. Diantara ciri
pemerintah orde baru adalah menciptakan sebuah sistem demokrasi yang terkenal
sebagai demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila adalah sebuah sistem penengah
dari berbagai sistem kenegaraan yang pernah diterapkan semasa orde lama.
Demokrasi Pancasila adalah sebuah sistem yang tidak mengenal istilah mayoritas
dan minoritas sebagaimana diungkapkan oleh Soeharto sendiri (bekas Presiden
RI) yang merupakan motor penggerak orde baru.
Tampaknya
apa yang dilakukan oleh pemerintah orde baru adalah semacam phobi yang
dialami oleh pihak militer atas apa yang terjadi pada mereka semasa orde
lama, khususnya sewaktu Soekarno menerapkan sistem demokrasi Liberal.
Orde
baru yang mengklaim dirinya sebagai naiknya Angkatan ‘45 adalah tanggung
jawab historis atas kelanjutan perjuangan mereka secara disadari ataupun
tidak telah menghambat cita-cita perjuangan bangsa sebagaimana tercantum
dalam pembukaan UUD 1945. Dengan melihat fenomena di atas betapa rakyat
Indonesia harus melalui tahapan-tahapan sulit demi terwujudnya negara berdaulat
yang adil dan makmur, dengan mencoba berbagai macam metode kenegaraan dan
penanaman ideologi yang disepakati bersama.
Indonesia
yang nota bene berpenduduk mayoritas Islam harus mengalami tekanan-tekanan
yang tidak sewajarnya pada masa orde lama dan orde baru. Padahal umat Islam
di Indonesia adalah mayoritas dari jumlah penduduk Indonesia yang 200 juta
itu.
Sekarang,
umat Islam pasca dua orde kembali mendapat tantangan untuk mengisi era
reformasi, setelah sebelumnya, umat Islam juga sangat berperan dalam mengisi
kemerdekaan pada masa orde lama dan orde baru. Dari beberapa pengalaman
itulah kita mesti mengambil ‘ibrah betapa Islam tidak hanya cukup berada
di Indonesia sebagai nilai-nilai yang membumi, namun ia juga berhak mewujud
dalam bentuk konsepsi yang tatbiqy.
Hal ini
bisa kita analogikan pada konsepsi Islam tentang daulah Islamiyah
secara kronologi sejarah. Pada periode Makkah, Islam mulai bergerak di
lingkungan negara yang mempunyai kedaulatan dengan ideologi yang diyakini
masyarakatnya. Pada fase ini Islam sebenarnya sudah memasuki kehidupan
bernegara dengan cara penanaman dan pembinaan nilai-nilai Islam bagi warga
yang meyakininya. Fase ini mempunyai titik singgung yang kuat dengan keadaan
umat Islam Indonesia yang bernegara dengan ideologi kesepakatan masyarakatnya.
Baru
kemudian pada periode Madinah Islam menjadi sebuah ideologi bagi kehidupan
bernegara. Hal tersebut terwujud bukan karena ada unsur intimidasi dari
kelompok muslim Makkah (Muhajirin), namun justru dikehendaki oleh warga
Madinah (Anshor) agar diberlakukannya daulah Islamiyah. Saat itu, minimal
sudah ada tiga partai (hizb) dalam membentuk kesepakatan undang-undang
yang akan dilaksanakan, yaitu kelompok Anshor, Muhajirin dan kelompok Yahudi
beserta Nasrani.
Periode
selanjutnya, daulah Islamiyah mematangkan konsep kenegaraannya di zaman
Khulafa’
al-Rasyidin dengan berbagai pembenahan sistem.
Tiga
periode di atas merupakan landasan berdirinya daulah Islamiyah secara ideal.
Dan bila melihat kembali dalam wawasan keindonesiaan, ternyata kita masih
berkutat pada periode Makkah yang berusaha semaksimal mungkin menanamkan
nilai-nilai Islam, walaupun ini sudah berlangsung selama lebih kurang 10
abad.
Di era
reformasi ini muncul kesadaran baru akan pentingnya penerapan konsepsi
Islam dalam kehidupan bernegara. Hal ini ditandai dengan munculnya partai-partai
yang bernafaskan Islam sebagai penyaluran aspirasi politik. Walau hal tersebut
masih menjadi perbincangan hangat antara aspek manfaat dan kekuatan politis.
Dengan
memahami konsepsi dasar Islam dan melihat realita umat di Indonesia inilah,
kita mencoba membaca kembali potensi kekuatan dan kelemahan yang ada. Baru
kemudian kita lihat celah dan ancaman yang akan dihadapi. Hal tersebut
bisa dilihat dari dua faktor, intern dan ekstern. Dari faktor pertama umat
Islam telah terbagi menjadi beberapa kelompok yang bisa menjadi faktor
perpecahan, atau malah sebaliknya bisa menjaring berbagai aspirasi untuk
penyalurannya yang juga berarti memainkan peran saling melengkapi. Sedang
faktor kedua adalah interdependensi Indonesia sebagai negara yang tak lepas
dari kepentingannya pada negara lain, bisa menjadi peluang bagi kemajuan
Indonesia, sekaligus bisa menjadi ancaman yang menyulitkan.
Maka,
perlu bagi kita memainkan dua strategi dalam perwujudan negara yang Islami
melalui penanaman nilai-nilainya dan penerapan konsepsinya. Wallahu
musta'an ila aqwami al-thariq
Dept. Information and Communication
(Buletin Sinar, edisi
II, 1998)